Rabu, 21 November 2012

Pertambangan = bom waktu bagi RI


Pertambangan = bom waktu bagi RI 


























JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku bahwa masalah perizinan di sektor pertambangan masih menjadi persoalan serius yang bisa menjadi bom waktu bagi upaya peningkatan investasi di tanah air.

"Banyak sekali izin-izin yang bermasalah, ribuan, bukan hanya ratusan. Kita terus benahi dan ini tidak bagus karena menghambat investasi, merusak segalanya," kata Yudhoyono, hari in. Presiden menuturkan, kasus perizinan pertambangan selama setahun terakhir terus mencuat di berbagai wilayah. Salah satu contohnya adalah kasus kerusuhan Bima di Nusa Tenggara Barat yang sempat menimbulkan gejolak berkepanjangan antara warga dengan perusahaan.
Terakhir, dia menambahkan, adalah kasus perizinan areal pertambangan di Kalimantan Timur yang telah menyeret Presiden ke pengadilan arbitrase internasional
Menurut Yudhoyono, ekses implementasi otonomi yang tidak tepat telah menyebabkan banyak perizinan pertambangan yang dikeluarkan Bupati/Walikota menimbulkan masalah. "Kadang-kadang, ganti bupati ganti izin, ini bom waktu semuanya," tegasnya.
Kondisi itu, dia melanjutkan, diyakini bisa mengganggu iklim investasi Indonesia yang kini tengah gencar dicanangkan pemerintah.Melihat kondisi tersebut, Presiden mengambil keputusan untuk menertibkan izin-izin yang dikeluarkan Bupati/Walikota itu. Gubernur sebagai perpanjangan pemerintah pusat akan diberi kewenangan lebih besar melaksanakan penertiban tersebut.
"Kalau tidak tertib, ya kita tegakkan aturan. Baik administrasi, kalau itu urusan administrasi. Kalau masuk hukum, ya hukum," kata Yudhoyono. Dengan upaya penertiban tersebut, dia menuturkan, pemerintah berharap negara Indonesia bisa mengatasi manajemen negatif yang selama ini masih berkembang. "Ini untuk mengamankan negeri dari manajemen negatif tentunya, salah urus, yang terjadi di era reformasi ini," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi 7 DPR, Dewi Aryani, menilai pemerintah menganggap masalah ini sebagai masalah biasa yang nantinya akan berlalu begitu saja, sementara kekayaan alam bangsa ini tergerus dan habis di ekploitasi asing yang tidak secara maksimal memberi manfaat untuk kepentingan nasional.
Dia mencontohkan, kasus mandegnya renegosiasi mencerminkan Freeport memang tidak ada niat baik. Menurutnya, saat ini Pemerintah Indonesia mengajukan enam butir Renegosiasi yakni terkait luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi dan kewajiban penggunaan barang atau jasa pertambangan dalam negeri.
"Dari keenam butir renegosiasi tersebut, hingga saat ini hanya butir kenaikan royalti emas yang disetujui oleh PT Freeport. Royalti emas yang awalnya hanya sebesar satu persen, setuju dinaikkan menjadi 3,75 persen dari harga jual per ton, yang sebenarnya sangat tidak signifikan bagi negara," ungkap Dewi.  
Dewi menambahkan, langkah renegosiasi yang dilakukan Pemerintah dengan Freeport ini seharusnya juga dijadikan momentum untuk mereposisi sektor energi di Indonesia. Namun, pemerintah terkesan setengah-setengah menanam keseriusan untuk membawa sektor energi sebagai sektor yang seharusnya diprioritaskan. Padahal, jika Pemerintah memahami dengan benar bahwa energi memiliki interkonektivitas yang kompleks dengan berbagai sektor kehidupan yang lain, maka seharusnya niatan untuk mereposisi sektor energi sebagai leading sector tidak lagi setengah-setengah.
Menurutnya, hal ini karena kegagalan akan menimbulkan eksternalitas negatif kepada sektor lainnya dan akan mengganggu berjalannya proses pembangunan. Dia melanjutkan, keterkaitan energi dengan berbagai sektor lain seperti ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial menempatkan energi sebagai sebuah hal yang keberadaannya perlu diposisikan dalam ruang lingkup kebijakan prioritas.
"Pada kenyataannya, sikap Pemerintah yang selama ini mengesampingkan kebijakan energi dibandingkan dengan kebijakan lainnya menuai hasil berupa kelangkaan energi yang disebabkan oleh salah tata kelola energi," katanya.
Selain itu, dia juga menilai pemerintah tidak mampu menjalankan amanah dalam konstitusi, yaitu UUD 1945, khususnya pasal 33 Ayat (2) yang mengamanahkan peran Pemerintah sebagai penanggung jawab pengelolaan SDA yang ada di seluruh Indonesia. "Salah satunya adalah tambang emas yang saat ini dikelola Freeport," tukasnya.

(dat06/vivanews/okz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar